Nemo Trapped In A Net

Kamis, 29 September 2011

Tentang Harapan dan Masa Depan..

Ibu selalu bilang, “Hidup di mana pun, dengan siapapun, dan dalam kondisi apapun, tergantung bagaimana jiwa dan raga berpadu memosisikan diri.” Subhanallah, tiba-tiba petuah ibu memenuhi ruang hati yang sedari tadi tersumpal emosi. “Yaa Rabbii, sampai kini aku tak mengerti mengapa Engkau mengirimku pada suatu tempat yang aku tak memiliki siapa-siapa? Begitupun saudara?”

Yang aku miliki hanyalah semangat dari sahabat seperjuangan yang tiada letih menyediakan pundak kesabaran untukku bersandar. Kini mereka bukan sekadar sahabat, melainkan saudara. Hanya mereka yang aku miliki di sini. Ya, di sini, di tanah yang telah mengajarkanku arti kehidupan. Arti persahabatan, arti persaudaraan. Kini, aku bukan lagi si pemurung, bukan lagi si penyendiri, bukan lagi remaja yang hanya mengurung diri di dalam rumah, dan  hanya bisa iri melihat kawan-kawan sebaya yang sibuk dengan masa remajanya. Bersenang-senang, ke twenty one, ke Mall, jalan-jalan atau sekadar makan bersama pasangan mereka (wal ‘iyaadzubillaah). Ya, dulu aku  remaja yang hanya bisa melihat kebahagiaan mereka dari balik kaca jendela rumahku yang teramat sederhana.

Ibu tidak pernah mengajarkan pada anak-anaknya untuk berbelanja atau sekadar membeli sesuatu ke supermarket atau ke Mall. Maklumlah, kalau sampai sekarang masih merasa kaku saat menginjakkan kaki ke Mall. Hmmmmmmm... wong kutha tapi kok ndeso..  >,<
Sampai usia yang seperempat abad ini, serasa  ibu masih memperlakukanku sepertimana gadis kecilnya yang dulu. “Kalau air di Tengaran dingin, mandinya pakai air panas saja, jangan sering makan gorengan, jangan makan sambal (takutnya diare), jangan minum es (nanti pilek), minum susu minimal sekali sehari, pulang dari sekolah sempetin tidur siang”  Aku tahu, itu semua demi kebaikanku. Ibu hanya khawatir, ketika aku sakit di sini, ibu tidak ada di sampingku.

            Aku pun sering jengkel ketika ibu mengajakku pergi ke pasar dan memaksaku meminum jamu tradisional yang benar-benar membuat perutku mual. Katanya biar sehat, biar ini, biar itu. Aku tak bisa menolak, apalagi lari dari kenyataan. Ibu menggandeng tanganku erat, lalu kami berdiri mengantre dengan puluhan pembeli jamu lainnya. Jamu yang wajib kuminum di tempat penjualnya, saat itu juga, dan di depan mata ibu. Aku rasa setelah meminum ramuan itu, bukannya merasa lebih sehat, ramuan itu berhasil mengaduk-aduk isi perutku, badanku meriang dan ingin muntah. Begitupun dengan si penjual jamu, yang setiap kali ke sana, semua pelanggan pun tak luput dari pidatonya tentang pamor jamu yang diramunya, tentang empat puluh tahunnya menekuni profesi yang dibanggakannya. Aku semakin mual. Aku kesal.

            Keinginanku untuk kembali dan berkarya di tanah kelahiran semakin membayang. Kembali petuah ibu menembus palung kesadaran, “Jangan sekalipun kamu tinggalkan tanah tempatmu berjuang, sebelum kamu mampu memberikan kemanfaatan bagi orang-orang di sekitarmu”. Pertanyaannya sekarang, apa yang sudah kuberikan pada tanah yang telah mengajariku arti kehidupan? Apa yang sudah kupersembahkan untuk orang-orang yang memberikanku ilmu dan kebaikan?

“Tapi Bu, di sana aku tidak punya siapa-siapa....” suaraku meninggi seolah tak peduli dengan siapa aku sedang berbicara. Dasar anak tak tau diri! Nastaghfirullaah.....
“Tulis di hati, Allaahu ma’ii, Allaahu ‘indii, Allaahu syaahidii” singkat ibu sambil mengangkat alisnya.
“Nggih, tapi aku pengen dekat keluarga, dekat dengan Ibu” suaraku meninggi dan semakin tak terkendali.
“Temukan keluargamu di sana, kita takkan pernah tau rahasia Allah. Sabar sebentar, terus belajar arti kehidupan. Sebelum kau sambut kehidupan barumu” kelembutan suara ibu semakin gigih untuk mengubah intonasi suaraku yang meledak-ledak.
“Teruslah belajar kehidupan sebelum kau sambut kehidupanmu yang baru??? Ah, jangan-jangan ibu hendak menjodohkanku dengan pria pilihannya? Jangan-jangan ibu sudah merencanakan ini semua padaku? Ah, tak mungkin! Ibu seorang yang demokratis, terlebih untuk urusan yang satu ini” aku menelisik ucapan-ucapan ibu dan mengolahnya dalam hati.
“Sekarang berikan yang terbaik dari apa yang kamu punya, insyaallah Ibu ridho kamu kembali dan berjuang di sini. Yang semangat belajar kehidupan.” sahut ibu kemudian meninggalkanku sendirian di ruang tamu.

            Percakapanku dengan ibu usai setelah kulihat raut wajahnya yang semakin kesal dengan keluhanku. Ya, mungkin ibu berada pada klimaks kekecewaan menghadapiku. Aku sadar, setiap kali aku pulang ke rumah, bukannya pengalaman mengesankan yang aku ceritakan. Keluhan dan keluhan selalu kusampaikan. Dengan khidmat ibu tetap mendengarkanku. Aku tahu ibu tak mau mengecewakanku. Pernah aku bercerita tentang tak ada waktu untuk mencuci baju, tak ada mesin cuci, dan sebentar lagi musim hujan, takut seluruh cucian tak kering. Dengan santai ibu memberikan solusi, “Di sana ada laundry to? dilaundry saja, kok repot!” Kadang jawaban ibu atas segenap keluhanku membuat aku berpikir ulang untuk mengeluh dan mengaduh di hadapan ibu. Aku malu... Atau memang tak tau malu...??

            Ternyata usia belum mampu mengubah pola pikirku. Aku belum setegar dan sesabar ibu. Aku cuma tukang keluh yang setiap pulang ke rumah membawa tumpukan keluhan dan keluhan.

            Bagaimanapun juga, aku tak mau disebut sebagai hamba yang mudah menyerah. Aku tak mau disebut sebagai hamba yang kalah...

            Sebelum segalanya kutinggalkan, aku pun ingin berbagi kemanfaatan. Dari raga yang tak kekal ini, semoga diri ini mampu memberikan yang terbaik dari yang kupunya...
            
            Walhamdulillaah 'alaa kulli haal...

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More