Nemo Trapped In A Net

Selasa, 05 April 2011


Gigitlah Sunnah
Kesalahpahaman tentang Sunnah Nabi saw dan Perkara Sunnah
Kesalahpahaman-kesalahpahaman telah kami uraikan dan tulisan sebelumnya adalah kesalahpahaman yang mengakibatkan malapetaka dalam dunia Islam atau perihal yang dipermasalahkan sampai saat ini yakni kesalahpahaman tentang bid’ah.
Kesempatan kali ini kami menguraikan kesalahpahaman yang termasuk inti/pokok yakni kesalahpahaman/kerancuan mengenai “sunnah Nabi saw” dan “perkara sunnah”.
Sesungguhnya yang dimaksud “Sunnah Nabi saw” adalah hadits Nabi saw atau as sunnah.
Hadits (bahasa Arab: الحديث ) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad saw. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur’an.
Perkara sunnah adalah perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah yakni perbuatan/ibadah yang dikerjakan/ditaati mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah Nabi saw atau Hadits Nabi saw meliputi perkara syariat (ibadah mahdah atau ibadah ketaatan) dan perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan//sholeh )
Pembagian perbuatan/ibadah dalam dua kategori yakni ibadah mahdah dan ghairu mahdah untuk tujuan pengajaran, berlandaskan firman Allah swt dan hadits.
Kami mengkajinya dari Hadits Nabi saw
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
dan firman Allah swt
….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Orang dalam keadaan beriman atau orang yang beriman adalah orang dalam ketaatan atau orang yang melaksanakan ibadah mahdah (ibadah ketaatan), orang yang memenuhi syarat sebagai orang beriman atau mukmin.
Orang mengerjakan amal yang shaleh atau amal-amal shaleh adalah orang yang mengerjakan kebaikan atau orang melaksanakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), orang yang sholeh atau muslim sholeh atau muhsin atau muhsinin atau muslim yang ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat segala perbuatan/perilakunya.
Perbuatan/ibadah seorang muslim ada dua kategori yakni
1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami” meliputi perkara wajib/fardhu , perkara haram (baik larangan dan pengharaman).
2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah, perkara sunnah (mandub), perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.
Contoh sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika ditinggalkan akan berdosa.
Contoh sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) termasuk kategori ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), amal kebaikan/sholeh merupakan sebuah perbuatan/ibadah hukumnya sunnah artinya perbuatan/ibadah yang jika dikerjakan berpahala jika ditinggalkan tidak berdosa. Level sunnahnya adalah sunnah ghairu muakad (sunnah umum bukan sunnah yang diutamakan atau sunnah muakad).
Rasulullah saw sangat mengkhawatirkan jika sholat tarawih menjadi kewajiban (hukumnya wajib) kalau beliau melaksanakan rutin setiap waktu dan cara/syariat tertentu.
Rasulullah saw menegakkan syariat/hukum sebagaimana yang Allah swt tetapkan dan sholawat tarawih tidak termasuk yang Allah swt tetapkan (ibadah mahdah) mengiringi kewajiban puasa di bulan Ramadhan namun termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt diamkan.
Rasulullah saw pun tidak mengubah hukumnya menjadi sunnah muakad dengan cara tidak menetapkan jumlah ra’kaat atau cara yang sering beliau lakukan.
Hakikatnya menegakkan syariat Islam adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
Sebagian muslim salah paham dengan maksud “menegakkan sunnah Nabi saw”, yang dimaksud sebenarnya adalah menegakkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
Mereka salahpaham/kerancuan apa yang dimaksud “sunnah nabi saw” dengan “perkara sunnah”.  Dengan kata lain mereka salah paham antara Sunnah dalam arti hadits Nabi saw dengan Sunnah dalam arti anjuran Nabi saw.
Sunnah dalam arti hadits nabi  yakni perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Saw, meliputi perkara syariat / wajib  (ibadah mahdah/ibadah ketaatan) maupun perkara sunnah (ibadah ghairu mahdah/ibadah kebaikan).
Sunnah dalam arti anjuran Nabi  adalah perkara sunnah yang dianjurkan/dicontohkan Nabi.
Sehingga akhirnya merekapun salah paham dengan yang dimaksud “Ikutilah / Gigitlah sunnah nabi saw” seolah-olah maknanya kita wajib mengikuti apapun yang dicontohkan oleh Nabi saw.
Padahal makna sebenarnya dari “Gigitlah sunnah nabi saw” adalah tetaplah atau tegakkanlah hukum sesuai yang disampaikan sunnah Nabi / hadits Nabi.
Jadi mengikuti contoh Rasulullah saw itu tidak seluruhnya hukumnya wajib namun sesuai hukum perbuatan/ibadah itu sendiri.
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat wajib maka hukumnya adalah wajib karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang wajib
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang sholat tarawih (sholat malam di bulan Ramadhan) maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.
Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang bersholawat maka hukumnya adalah sunnah karena yang dicontohkan adalah perkara/hukum yang sunnah.
Sesungguhnya mendudukan perkara/hukum dalam Islamlah yang dimaksud penegakan syariat Islam. Jadi peneggakan syariat/hukum Islam berlaku atau kewajiban bagi semua muslim tanpa alasan walaupun sistem pemerintahan sebuah negara belum berlandaskan syariat Islam. Apa-apa yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Allah swt baik berupa kewajiban (perkara/hukum wajib) yang wajib dilaksanakan mapun berupa larangan dan pengharaman (perkara/hukum haram) yang wajib dihindari.
Pengadilan agama di negeri kita dengan wewenang terbatas sebaiknya diperluas untuk perkara syariat Islam baik perkara yang wajib dilaksanakan dan perkara yang wajib dihindari. Sedangkan perkara/perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan atau amal kebaikan/sholeh diserahkan pengerjaan dan ketaatan bagi setiap muslim sesuai kesadaran, keinginan dan kebutuhan masing-masing.
Dalam tulisan diatas dapat kita pahami bahwa Rasulullah saw khawatir apabila perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah berubah/dianggap hukumnya wajib bagi ummat muslim karena Nabi Muhammad saw hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan.
Firman Allah swt yang artinya
Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan“. (QS Al Ahqaaf [46]:9 )
Namun kita lihat sekarang sebagian ulama menetapkan/menganggap hukumnya wajib bagi perbuatan/ibadah yang  hukumnya sunnah atau mereka menganggap hukumnya haram/terlarang atau menilai sesat bagi perbuatan/ibadah yang hukumnya sunnah,  inilah yang dinamakan melampaui batas (ghuluw) dan Allah swt tidak menyukai orang yang melampaui batas (ghuluw).
Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian….” (Q.S. an Nisa’: 171)
Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ
Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”
Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”  (QS Hud [11]: 112 )
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” (QS  Jaatsiyah [45]:18 )
Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh)
Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.
Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali Imran [3]:9 )
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:7)
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka“. (QS At Taubah [9]:111 )

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More