Nemo Trapped In A Net

Jumat, 27 Juli 2012

Pahala Melimpah Bagi Muslimah yang Tinggal di Rumah

Kamis, 29 September 2011

Tentang Harapan dan Masa Depan..

Ibu selalu bilang, “Hidup di mana pun, dengan siapapun, dan dalam kondisi apapun, tergantung bagaimana jiwa dan raga berpadu memosisikan diri.” Subhanallah, tiba-tiba petuah ibu memenuhi ruang hati yang sedari tadi tersumpal emosi. “Yaa Rabbii, sampai kini aku tak mengerti mengapa Engkau mengirimku pada suatu tempat yang aku tak memiliki siapa-siapa? Begitupun saudara?”

Yang aku miliki hanyalah semangat dari sahabat seperjuangan yang tiada letih menyediakan pundak kesabaran untukku bersandar. Kini mereka bukan sekadar sahabat, melainkan saudara. Hanya mereka yang aku miliki di sini. Ya, di sini, di tanah yang telah mengajarkanku arti kehidupan. Arti persahabatan, arti persaudaraan. Kini, aku bukan lagi si pemurung, bukan lagi si penyendiri, bukan lagi remaja yang hanya mengurung diri di dalam rumah, dan  hanya bisa iri melihat kawan-kawan sebaya yang sibuk dengan masa remajanya. Bersenang-senang, ke twenty one, ke Mall, jalan-jalan atau sekadar makan bersama pasangan mereka (wal ‘iyaadzubillaah). Ya, dulu aku  remaja yang hanya bisa melihat kebahagiaan mereka dari balik kaca jendela rumahku yang teramat sederhana.

Ibu tidak pernah mengajarkan pada anak-anaknya untuk berbelanja atau sekadar membeli sesuatu ke supermarket atau ke Mall. Maklumlah, kalau sampai sekarang masih merasa kaku saat menginjakkan kaki ke Mall. Hmmmmmmm... wong kutha tapi kok ndeso..  >,<
Sampai usia yang seperempat abad ini, serasa  ibu masih memperlakukanku sepertimana gadis kecilnya yang dulu. “Kalau air di Tengaran dingin, mandinya pakai air panas saja, jangan sering makan gorengan, jangan makan sambal (takutnya diare), jangan minum es (nanti pilek), minum susu minimal sekali sehari, pulang dari sekolah sempetin tidur siang”  Aku tahu, itu semua demi kebaikanku. Ibu hanya khawatir, ketika aku sakit di sini, ibu tidak ada di sampingku.

            Aku pun sering jengkel ketika ibu mengajakku pergi ke pasar dan memaksaku meminum jamu tradisional yang benar-benar membuat perutku mual. Katanya biar sehat, biar ini, biar itu. Aku tak bisa menolak, apalagi lari dari kenyataan. Ibu menggandeng tanganku erat, lalu kami berdiri mengantre dengan puluhan pembeli jamu lainnya. Jamu yang wajib kuminum di tempat penjualnya, saat itu juga, dan di depan mata ibu. Aku rasa setelah meminum ramuan itu, bukannya merasa lebih sehat, ramuan itu berhasil mengaduk-aduk isi perutku, badanku meriang dan ingin muntah. Begitupun dengan si penjual jamu, yang setiap kali ke sana, semua pelanggan pun tak luput dari pidatonya tentang pamor jamu yang diramunya, tentang empat puluh tahunnya menekuni profesi yang dibanggakannya. Aku semakin mual. Aku kesal.

            Keinginanku untuk kembali dan berkarya di tanah kelahiran semakin membayang. Kembali petuah ibu menembus palung kesadaran, “Jangan sekalipun kamu tinggalkan tanah tempatmu berjuang, sebelum kamu mampu memberikan kemanfaatan bagi orang-orang di sekitarmu”. Pertanyaannya sekarang, apa yang sudah kuberikan pada tanah yang telah mengajariku arti kehidupan? Apa yang sudah kupersembahkan untuk orang-orang yang memberikanku ilmu dan kebaikan?

“Tapi Bu, di sana aku tidak punya siapa-siapa....” suaraku meninggi seolah tak peduli dengan siapa aku sedang berbicara. Dasar anak tak tau diri! Nastaghfirullaah.....
“Tulis di hati, Allaahu ma’ii, Allaahu ‘indii, Allaahu syaahidii” singkat ibu sambil mengangkat alisnya.
“Nggih, tapi aku pengen dekat keluarga, dekat dengan Ibu” suaraku meninggi dan semakin tak terkendali.
“Temukan keluargamu di sana, kita takkan pernah tau rahasia Allah. Sabar sebentar, terus belajar arti kehidupan. Sebelum kau sambut kehidupan barumu” kelembutan suara ibu semakin gigih untuk mengubah intonasi suaraku yang meledak-ledak.
“Teruslah belajar kehidupan sebelum kau sambut kehidupanmu yang baru??? Ah, jangan-jangan ibu hendak menjodohkanku dengan pria pilihannya? Jangan-jangan ibu sudah merencanakan ini semua padaku? Ah, tak mungkin! Ibu seorang yang demokratis, terlebih untuk urusan yang satu ini” aku menelisik ucapan-ucapan ibu dan mengolahnya dalam hati.
“Sekarang berikan yang terbaik dari apa yang kamu punya, insyaallah Ibu ridho kamu kembali dan berjuang di sini. Yang semangat belajar kehidupan.” sahut ibu kemudian meninggalkanku sendirian di ruang tamu.

            Percakapanku dengan ibu usai setelah kulihat raut wajahnya yang semakin kesal dengan keluhanku. Ya, mungkin ibu berada pada klimaks kekecewaan menghadapiku. Aku sadar, setiap kali aku pulang ke rumah, bukannya pengalaman mengesankan yang aku ceritakan. Keluhan dan keluhan selalu kusampaikan. Dengan khidmat ibu tetap mendengarkanku. Aku tahu ibu tak mau mengecewakanku. Pernah aku bercerita tentang tak ada waktu untuk mencuci baju, tak ada mesin cuci, dan sebentar lagi musim hujan, takut seluruh cucian tak kering. Dengan santai ibu memberikan solusi, “Di sana ada laundry to? dilaundry saja, kok repot!” Kadang jawaban ibu atas segenap keluhanku membuat aku berpikir ulang untuk mengeluh dan mengaduh di hadapan ibu. Aku malu... Atau memang tak tau malu...??

            Ternyata usia belum mampu mengubah pola pikirku. Aku belum setegar dan sesabar ibu. Aku cuma tukang keluh yang setiap pulang ke rumah membawa tumpukan keluhan dan keluhan.

            Bagaimanapun juga, aku tak mau disebut sebagai hamba yang mudah menyerah. Aku tak mau disebut sebagai hamba yang kalah...

            Sebelum segalanya kutinggalkan, aku pun ingin berbagi kemanfaatan. Dari raga yang tak kekal ini, semoga diri ini mampu memberikan yang terbaik dari yang kupunya...
            
            Walhamdulillaah 'alaa kulli haal...

Selasa, 27 September 2011

Antara Letih, Asap, dan Kesabaran


Kali ini bukan gema azan yang memasuki celah jendela tempatku tinggal..
Tapi asap tebal yang membuat dadaku tiba-tiba sesak.. Sesekali aku terbatuk.

Kusingkap jendela, kulihat api melahap tumpukan sampah yang meruah..

~o0o~

Segera kurampungkan tilawah, lalu kulepas mukena dan segera melipatnya, serapi mungkin..
Ya, serapi mungkin karena ia adalah sahabat yang setia menemaniku bersimpuh di hadapan Rabbku..
Aku ingin menghadap kepadaNya dalam keadaan sebersih dan serapi-rapinya.. Begitupun dengan mukena yang kupakai. Harus bersih, suci, dan rapi. Dengan penuh kehati-hatian aku menyimpannya, merapikannya kembali setelah usai kupakai. Sekali lagi, serapi mungkin..

~o0o~

Dalam perjalananku yang sendiri sepulang sekolah tadi, tiba-tiba aku merindukan tanah kelahiranku. Entah mengapa..
Langkahku semakin berat. Tapi aku harus kuat..
Toh Ibu merestui, tahun ini adalah tahun terakhirku belajar kehidupan di tanah ini..

Kusisiri dengan jeli, jalan setapak yang sering kulewati. Kupandang pula buah-buah kecil yang tumbuh pada ranting pohon teh, kucium bunga kopi yang ranum dan mirip melati, semerbak, wangi..
Kutatap langit yang terik di antara rerimbun pepohonan.
Aku merasa sangat kecil di hadapan mereka.
Begitupun di hadapan Rabbku, aku benar-benar merasa begitu kecil dan lemah.

Mereka belum pernah kujumpai di tanah kelahiranku. Ya, di tanah inilah pertama kali dan seumur hidup kulihat pohon kopi, pohon manggis, pohon nanas yang sedang berbuah, dan pohon teh yang ternyata memiliki buah mirip apel hijau, tapi kecil dan berbiji sebesar kelengkeng.
Menakjubkan!

~o0o~

Di tanah ini aku belajar banyak hal, terlebih tentang kesabaran.

Dalam kondisi letih, kupaksakan diri untuk segera membersihkan badan. Kulirik beberapa tumpukan baju kotor menanti dicuci.
Ya, karena untuk saat ini air adalah barang mahal.
Yang tak bisa kami peroleh serta merta, apalagi seenaknya.

Bismillah, dengan air seadanya mulailah kedua tangan ini bekerjasama mencuci tumpukan baju-bajuku sendiri.

Andai saja aku di rumah, tentu tak kubiarkan badanku semakin letih. Tinggal klik, atur frekuensi, kering.. Cucian beres.
Andai ini, andai itu.
Namun pada akhirnya, berandai-andai tak menyelesaikan masalah, bukan.. ??

Walhamdulillah, dalam waktu setengah jam, tumpukan baju-baju kotor berubah bersih.
Perubahan yang berposes cukup lama tentunya..


~o0o~

Serapi mungkin aku menjemurnya pada tiang-tiang besi yang memanjang di antara balutan tali yang membujur dari arah utara dan selatan.

Lega..
Perjuangan pun berbuah manis.

~o0o~

Kemudian genangan air nan jernih di sudut mataku, berhasil menyingkap celah bulu mata. Lalu memaksanya turun supaya ia memberikan jalan untuk lebih leluasa jatuh..

Bulir demi bulir mengalir..

"Dasar cengeng, untuk apa menangisi cucian yang terlanjur beraroma asap sampah? Toh bisa kamu bilas lagi !!" kuncup hatiku menyemangati diri sendiri.

Semoga aku masih dipertemukan dengan hari esok, dalam semangat yang baru, dalam kesabaran yang lebih luar biasa.

Subhanallah, inilah kehidupan yang penuh tantangan. Di mana kesabaran dan ketabahan adalah perisai dari segala bentuk kekalahan..

Karena aku tak mau disebut sebagai orang kalah..

Fashbir shobron jamiila,
Innallaaha ma'ash shoobiriin..

Walhamdulillaah..

Senin, 15 Agustus 2011

Ibu, Semangati Aku.......


"Ribuan kilo jalan yang kau tempuh. Lewati rintang untuk aku anakmu. Ibuku sayang, masih terus berjalan. Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah"

Teringat lagunya Bang Iwan Fals (semoga sahabat mengenalnya)
Ya, sejak SMA saya suka dengan lagu-lagu beliau, yang dalam syairnya lebih cenderung memihak orang-orang pinggiran. ( jadi, untuk para massivers, cliquers, slippers, jempolers, pampers atau apalah, maaf ya.. Saya ndak suka BAND )
^__^

Pagi tadi serasa enggan beranjak dari tempat tidurku. Tiba-tiba datang Ibu yang dengan semangatnya yang luar biasa, menyemangatiku seperti biasa. Membuka pintu kamarku dengan senyumnya, mendekatiku, dan memijit-mijit lenganku.

"Saatnya berangkat sekolah ke Tengaran, seminggu lagi juga liburan to? Mbok yang semangat to ya...? rayu Ibu padaku.
"Sebentar to Bu masih ngantuk. Kenapa aku ndak sekolah di Solo lagi, ya Bu?" rayuanku pun sepertinya tak kalah hebat dengan rayuan Ibu.
"Lha wong dari TK sampai Universitas di Solo. Apa ndak bosen to? Sekarang saatnya belajar kehidupan di tanah orang. Wis, sekarang cepet mandi sana. Air panas sampun siap."

Aku tak mengindahkan Ibu yang sedang ngendika. Aku merasa malas untuk kembali ke tanah rantau. Benar-benar malas. Entah kenapa...

"Eeee, bocah ini lho. Ayo, air panas sudah siap. Mandi, keramas. Biar malasnya ilang" ucap Ibu sambil mengibaskan handuk dan bermaksud menyerahkannya padaku.

Aku tak menjawab ucapan-ucapan Ibu yang panjang lebar tadi. Dengan terpaksa kubangkitkan tubuhku dari tempat tidur dan kuraih handuk yang masih berada di tangan Ibu.

"Jangan lupa keramas, jangan lupa air panasnya." sahut Ibu yang mungkin setengah kesal karena aku sama sekali tak merespon ucapannya.

Masih dengan diam aku melenggang meninggalkan Ibu di kamarku bersama cucunya yang baru. Ya, cucu ketiganya yang baru lahir seminggu yang lalu.

~0~

Lalu aku siap dengan seragam warna hijau dan ransel yang menempel di punggungku. Aku masih duduk mematung di atas tempat tidur.

"Lho, kenapa bocah ini?" selidik Ibu yang semakin penasaran dengan keadaanku.
"Lagi menyemangati diri sendiri" sambungku singkat.
"Nah, gitu. Dari tadi kok kesannya Laa yamuutu wa laa yahyaa. Eh, tapi semangat yang mana dulu...?" sahut Ibu seperti meragukan ucapanku.

"Semangat mencari kecocokan jiwa" jawabku sembari melirik Ibu.
"Yo wis, selamat bersemangat mencari kecocokan jiwa" balas Ibu sambil menertawakanku.

Aku malu, ternyata ucapanku yang spontan tadi membuat Ibu merasa geli pada anak perempuannya ini.

Lalu segera kuraih tangan kanan Ibu dan kucium penuh tawadhu'.

"Berangkat, nggih Bu?" pamitku.
"Berangkat mencari kecocokan jiwa???" ucap Ibu dengan senyumnya yang khas.
Aku hanya nyengir melihat Ibu yang semakin semangat meledekku.

~0~

Seorang Ibu yang tiada letih menyemangatiku. Seorang Ibu yang tiada pernah memarahiku. Sama sekali belum pernah mencubit atau menjewer telingaku, selama aku hidup.
Sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar ataupun yang menyakitkan hatiku. Sama sekali tidak pernah berbicara dengan berteriak (nada keras) dan membuat telingaku panas. Seorang Ibu yang mengajariku arti kelembutan, kasih sayang, dan kesantunan.
Yang telah memberiku segalanya, tapi hingga detik ini aku belum mampu mempersembahkan yang terbaik untuknya..
Nastaghfirullah..

Mari senantiasa sertakan nama Bapak dan Ibu kita.. Dalam sujud dan munajat kita.

Walhamdulillah..
Top of Form
Bottom of Form

Minggu, 14 Agustus 2011

Mahasiswa Kupu-kupu....


Sinar mentari pagi ini terlalu menyilaukan mata Syahida yang memang sensitif terhadap cahaya. Dengan kondisi mata yang merem melek, ia berusaha menghindari bias-bias cahaya yang sepertinya sengaja ingin mencolek pipinya. Tampak ia sedang terbelalak menyisir keramaian di setiap penjuru dimensi taman yang berada di tengah gedung B, gedung C dan gedung Auditorium di kampusnya.
Dengan fasilitas free hot spot, mahasiswa-mahasiswi tampak asyik dengan laptop masing-masing. Ada yang berkelompok, sendirian, bahkan berduaan dengan pasangan mereka. Terlihat pula mahasiswa yang komat-kamit menghapalkan sesuatu dari buku yang digenggamnya, sambil menyembulkan asap dari mulut dan lubang hidungnya. Tapi tampaknya hari ini kampus terlihat sedikit tenang.
“Oooo..... pantas saja suasananya seperti kampus betulan, hari ini masih dalam Ujian Akhir Semester” bisik Syahida pada kuncup hatinya. Sambil membersihkan baju yang terinjak sepatunya sendiri ketika duduk di kursi Angkutan Kota berwarna kuning, yang porsi kursinya lebih landai jika dibanding dengan mini bus. Ia pun teringat obrolannya dengan mahasiswi asal Wonogiri yang duduk bersama dalam satu angkot tadi. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan Syahida ketika sedang safar dan bertemu dengan banyak orang. Entah di dalam bus, atau kendaraan apa saja, ia selalu menyempatkan diri untuk sekadar ngobrol ataupun berkenalan dengan penumpang yang biasa duduk di sebelahnya.
Begitu juga dengan perjalanannya ke kampus hari ini . Ia tak mau membuang kesempatan untuk berkenalan dengan gadis berkaca mata dan berjilbab merah menyala yang duduk berhadapan dengannya. “Mbak turun mana?” ucap Syahida mengawali obrolannya. “Turun kampus Mbak” jawab mahasiswi itu singkat. “Mbak semester berapa?” Syahida sesegera mungkin menimpali ucapan mahasiswi tersebut. “Semester delapan Mbak, baru skripsi” ucap mahasiswi itu tampak lesu. “Oooo... baru skripsi, jurusannya apa Mbak?”  tanya Syahida dengan senyum polosnya. “Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia” jawaban mahasiswi itu semakin lesu. “Kebetulan jurusan kita sama” girang Syahida yang merasa pernah senasib dengan mahasiswi yang ia sendiri lupa menanyakan namanya. “Mbak sendiri semester berapa?” tanya mahasiswi dengan muka pasinya. “Wah, wah........... kalau aku ditanya semester berapa, berarti aku dikira adik tingkatnya atau dia melihatku masih tampak lebih muda darinya? Ternyata aku masih dikira mahasiswa, hehe........” gumam Syahida dengan senyumnya. Lalu sebelum persepsi mahasiswi itu semakin keliru, Syahida buru-buru menyambar pertanyaan sang mahasiswi berjilbab merah menyala tadi. “Kebetulan jurusan kita sama, tapi saya lulus kira-kira tiga tahun yang lalu Mbak”. “Ooooo..... kirain masih kuliah” sahut mahasiswi dengan anggukan kepalanya. “Tuh kan... berarti aku memang dianggap lebih muda darinya” senyum terkembang di antara koridor perasaan.
“Masih ingat Prof. Markhamah kan Mbak? Kebetulan beliau pembimbing skripsi saya. Susah sekali nurutin kemauan beliau. Cukup perfectionis menurut saya. Ketemunya susah, kalau pun ketemu dan berkesempatan untuk konsultasi, skripsi saya pun dipastikan penuh dengan cabikan-cabikan pulpen beliau!!!!” ungkap mahasiswi itu dengan kegeramannya.  Syahida berusaha menimpali curahan hati sang mahasiswi diiringi senyum bijaknya,” Beliau pun juga pernah menjadi pembimbing skripsi saya, alhamdulillah memang Mbak sendiri yang memilih beliau sebagai pembimbing utama. Karena sibuknya beliau, mungkin kita sendiri yang harus ngatur schedule yang match dengan jadwal beliau. Selain itu, pinter-pinternya kita ngloby beliau, tidak tegang atau gugup ketika berkonsultasi, bisa jadi penentu kenyamanan dalam konsultasi. Untuk referensi buku, gunakan buku yang terbaru, tunjukkan referensi-referensinya saat konsultasi. Beliau memang perfectionis, serius, jarang bicara, bahkan beliau terkesan dosen wanita yang killer, tapi Mbak tertarik dan semakin penasaran dengan pribadi beliau. Dan setelah Mbak mengenal beliau lebih dekat, ternyata beliau memiliki sisi kharismatik, berwibawa dan bisa juga diajak bercanda” ungkap Syahida panjang lebar mengenai pengalamannya tiga tahun lalu.
*****
Masih tampak jelas kenangan semasa studi di kampus yang ia selesaikan tepat empat tahun. Syahida memang bukan mahasiswi yang aktif di kampusnya, bukan aktivis, apalagi Aktivis Dakwah Kampus. Sejak semester dua ia harus merelakan masa di mana setiap mahasiswa berkesempatan mereguk pengalaman sebanyak-banyaknya, baik dalam organisasi maupun pergaulan (tentunya pergaulan yang tidak keluar dari koridor syar’i). Syahida harus bersibuk ria dengan aktivitasnya mencari tambahan biaya kuliah.
Ya, meskipun ia terlahir dari keluarga sederhana tapi ia bertekad memperjuangkan cita-citanya. Kenangan masa lalunya ketika Sekolah Menengah pun tiba-tiba datang menyergap. Waktu itu hari kelulusan, di mana teman-temannya sibuk dengan mewarnai seragam, bahkan rambut mereka dengan cat. Tentunya ia tidak merayakan pesta kelulusan sepertimana teman-temannya dengan hura-hura. Ditemani sahabatnya,  Syahida duduk lesu di depan toko depan sekolah yang menjual  alat-alat tulis dan perlengkapannya. “Setelah lulus kamu mau ke mana?” tanya sahabat sebangkunya yang berwajah Arab membuyarkan lamunannya. “Belum tahu, kalau Allah berikan rizki lebih kepada orang tuaku, aku ingin mewujudkan cita-citaku. Dan untuk mencapai itu semua, aku harus kuliah” jawab Syahida lirih. Lalu ia melirik sebuah binder warna hitam yang sederhana. Binder itu tertata rapi di dalam etalase yang berjajar rapi pula di dekat mesin foto copy. Ia membayangkan kalau menjadi mahasiswa nanti ia akan mencatat setiap materi kuliah dalam bindernya. Sederhana sekali angan-angannya. Lalu bangkitlah ide untuk membeli binder yang tertata dalam etalase tadi. “Lima belas ribu, Mbak” ucap Mas penjaga toko sambil mengambilkannya untuk Syahida. Sambil merogoh sakunya, didapatinya uang enam belas ribu. “Ya sudahlah kalaupun untuk beli binder lima belas ribu, toh aku masih punya sisa seribu rupiah untuk ongkos pulang” pikir Syahida. Waktu itu ongkos naik mini bus kira-kira lima ratus perak. Akhirnya binder itu berhasil ia miliki. “Kalaupun nanti aku tidak memiliki kesempatan kuliah, setidaknya aku masih memiliki kesempatan menulis dalam buku (binder) yang biasa dipakai anak-anak kuliah” ucap Syahida setengah memupus harapannya untuk menjadi mahasiswa.
*****
“Mbak turun di mana?” tanya mahasiswi itu mencincang habis lamunan Syahida. Syahida terperangah karena sebetulnya ia tengah menjadi selembar daun kering di antara deras arus sungai yang membawanya pada muara tangis, tak terasa  ia hanyut terbawa arus sedih  mengingat masa lalunya. Segera ia menjawab pertanyaan mahasiswi itu dengan seadanya, “Ya turun kampus lah Mbak”.
Akhirnya obrolan yang lumayan panjang itu usai dengan sendirinya. Syahida pun hanya menjabat tangan saudari muslimnya itu sambil memberikan semangat, “Sukses ya Mbak, taklukkan Prof. Markhamah!” Senyum legit menghiasi bibir merah mahasiswi dengan jilbab merah menyala dan lipstik yang saga pula, “Makasih Mbak”. Mereka berpisah di depan masjid agung di depan kampus.
*****
“Ah, ternyata bajuku terkena sedikit olie!” ucap Syahida yang sedari tadi masih mengusap-usapkan telapak tangan pada bajunya yang terinjak oleh sepatunya sendiri ketika di dalam angkot tadi. Syahida memang sosok yang benar-benar menjaga penampilannya, terutama kebersihan pakaiannya. Meskipun mengenakan baju yang tidak mahal, bahkan tidak modis, setidaknya seorang muslimah harus menjaga penampilannya, minimal bersih dan rapi. Bukankah sesungguhnya Allah menyukai keindahan...??? dan bukankah keindahan terlahir dari kebersihan dan kerapian????
Rupanya ia tertegun cukup lama mengingat-ingat perjalanannya ke kampus bersama adik tingkatnya tadi. Syahida masih mendapati mahasiswa yang dengan kesibukannya masing-masing. Ia pun berniat mencari tempat duduk yang nyaman. Sambil membenahi ranselnya, Syahida berjalan ke arah utara menuju taman di depan gedung C.
“Assalamu’alaikum..........” sosok proporsional itu tiba-tiba menyapa Syahida, mungkin dengan suara yang dipersiapkannya, karena suara laki-laki itu terkesan nyaring. “Wa’alaikumussalaam..........” Syahida menjawab salam sembari mengingat siapa laki-laki tinggi yang baru saja berpapasan dengannya, dan kini berdiri tegak di sampingnya. Ternyata teman seangkatan, meskipun berbeda kelas. Mereka memang tidak saling mengenal satu sama lain. Karena Syahida yang lebih sibuk di luar dari pada di kampus, Syahida pun merasa menjadi mahasiswi asing di mata teman-temannya di kelas. Syahida datang ke kampus hanya kalau ada kuliah. Nongkrong bareng teman pun sama sekali tidak. Bagaimana ia kenal dengan teman-temannya? Apalagi terkenal? Syahida harus merelakan dirinya dijuluki mahasiswa Kupu-Kupu (Kuliah Pulang-Kuliah Pulang). Ia hanya kenal dengan beberapa teman perempuan saja, sedangkan dengan teman laki-laki, satu pun tak ada yang kenal dekat. Saling menyapa menurut Syahida cukuplah untuk membentengi diri supaya tidak berpredikat angkuh.
“Aduh, namanya siapa lagi.......” bisik Syahida dalam hatinya yang cemas. Malu jika sampai ketauan bahwa ia tak tahu nama dari mahasiswa yang aktif di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan tergolong dalam kategori jamiil pada masanya . “Ah, bodo amatlah...... Toh ga semua wajib tahu siapa dia atau apapun jabatannya” sambungnya pada hatinya yang kian cemas. Yang pasti mereka saling terdiam, tiba-tiba dengan sigap laki-laki itu bertanya, “Ngajar di mana sekarang, Mbak?” Pertanyaan laki-laki itu seolah-olah ingin menghentikan niat Syahida untuk melangkahkan kaki meninggalkannya. Pertanyaannya seakan ingin mengawali obrolannya dengan Syahida. Tampaknya mereka sama sekali belum pernah ngobrol sebelumnya, bahkan mungkin ketika masih kuliah dulu.
“Di Semarang” jawab Syahida singkat untuk mengatasi rasa groginya. Maklumlah, rasa ini secara wajar akan muncul setiap berhadapan dengan lawan jenis. “SD, SMP, SMA atau......” tukas laki-laki itu ingin tahu. Buru-buru Syahida menyambar pertanyaan laki-laki itu dengan jawabannya yang teramat singkat, “SMP”. Kontan saja laki-laki berkulit bersih itu sedikit tidak nyaman dengan jawaban Syahida yang seolah-olah ingin segera mengakhiri sapaannya. “Mbak dulu wisuda bareng Pak Huda dan Bu Dini yang kini jadi dosen kan?” pertanyaan laki-laki itu seolah ingin mencairkan suasana. “Ya, kira-kira tahun 2008, kami wisuda bareng, tapi nasib kami tentu berbeda. Mereka jadi dosen, dan alhamdulillah saya jadi guru SMP” jawaban Syahida kali ini sedikit enak didengar oleh telinga laki-laki yang bertas ransel yang warnanya pun senada dengan ransel yang menempel di pungggung Syahida. “Ya, tiap orang sudah dijatah nasib masing-masing, Mbak” ucapnya sambil melihat-lihat sekitar taman. “Ya betul, kita tinggal manut saja sama Qanun-Nya” tambah Syahida. “Sekarang ngajar di mana?” tanya Syahida mengimbangi laki-laki yang kelihatannya juga pemalu. “Ngajar SMA Mbak, sambil belajar lagi di Sebelas Maret” jawab laki-laki itu dengan rendah hati. “Subhanallah, sudah ngajar di SMA plus S2 di Sebelas Maret, Luar biasa” kuncup hatiku. Memang Syahida ikut wisuda tiga periode lebih awal daripada laki-laki itu. Mungkin studinya sedikit kacau karena kesibukannya sebagai aktivis? Yang sedikit Syahida tahu, laki-laki itu sepertinya pernah tinggal di Ma’had Shobron... Entahlah...
“Mbak ada acara apa ke kampus?” tanya laki-laki ini sebelum Syahida meninggalkannya. “Cuma mau ketemu kampus, lama ga ke kampus” buru-buru laki-laki itu menyahut jawaban Syahida, “Bukannya dari dulu Mbak memang jarang ngampus......??????” Pertanyaan laki-laki itu membuat Syahida tiba-tiba meringis malu. “Iya, bener juga ya.....” jawab Syahida sambil berpura-pura menyisir pandangan untuk mengalihkan perhatian. “Aduh, ini orang tau tentang aku yang dulu memang jarang ke kampus” pikir Syahida dan sesegera mungkin memutar akal untuk mengakhiri obrolannya dengan laki-laki yang mengenakan kaos berkerah dengan logo “POLO” berwarna putih itu.
“Saya duluan, teman saya menunggu di depan Biro Administrasi” pamit Syahida untuk mengakhiri obrolannya dengan laki-laki itu, yang kira-kira sudah lima menit lamanya. “Ya, monggo, saya berharap suatu saat kita bisa sua kembali”. “Insyaallah............” jawab Syahida sambil melenggang meninggalkan laki-laki itu dengan senyum terkembang, meski dalam hati.
*****
Tak ingin seperti adegan dalam sinetron pada umumnya, ketika dua pemeran bertemu, lalu saat salah satu dari mereka ingin meninggalkan lawan bicaranya, baru setelah berjalan beberapa langkah, kemudian menengok ke belakang, dan melepas senyum kepada lawan main yang ditinggalnya pergi, lalu mata saling bertatap. “Oh, tidak..... Aku tak mau sepertimana dalam sinetron!!!!! Jangan sampai langkahku terhenti hanya karena ingin menengok ke belakang untuk memastikan bahwa laki-laki itu masih berada di tempat pertemuan kami tadi” ucap Syahida sambil mengusap dadanya yang tiba-tiba berdegub hebat dan menambah frekuensi kecepatan langkahnya.
“Sedikit berbohong pada laki-laki itu tak apalah, toh ini untuk kebaikan juga” Syahida mencoba membela dirinya. Padahal, tujuannya ke kampus memang sekadar ingin melihat suasana kampus. Tanpa berniat akan atau ingin bertemu dengan seseorang. Bukankan belajar dari lingkungan sekitar lebih bermakna dan menarik daripada duduk diam lalu mendengarkan teori-teori yang disampaikan dosen sebagaimana ketika kuliah dulu?
Ia lanjutkan perjalanannya menyisir papan pengumuman di belakang ruang dosen. Tertulis jadwal Ujian Akhir Semester lengkap dengan pembagian setiap ruang ujian, serta nama dosen pengampu setiap mata kuliahnya. Dini Resti Prastiwi; Teori Membaca Komprehensif, Miftahul Huda; Komposisi dan Semantik, Dini Arum Isnina; Teknik Penyuntingan. Ketiga nama mereka tentunya tak asing bagi Syahida. “Kok tidak ada nama Syahida Amanina di situ ya.....” gelitik Syahida pada hatinya sendiri. Ya, hanya belasan mahasiswa dari seratus sekian pada masa angkatan syahida berhasil menyelesaikan studi tepat empat tahun, demikian juga dengan ketiga dosen muda di atas, berikut bersama Syahida. “Tiap manusia punya peran masing-masing, dan Allah telah menyesuaikan masing-masing peran itu sesuai porsi kemampuannya, Hayya nasykur  ilallah, Syahida.........” Syahida masih sibuk menghibur hatinya.
*****
Dengan kaki yang hampir letih, Syahida memutuskan untuk segera mengakhiri petualangannya di kampus yang makin sesak dengan mahasiswa ini. “Yaa Rabb, berkahilah setiap mahasiswa yang mencari ilmu di kampus ini dengan kesungguhan, mudahkanlah mereka dalam mewujudkan cita-cita, Yaa Allah Sang MahaCinta, cintailah sang mahasiswa yang mencintaiMu juga RasulMu, amien....” do’a Syahida sebelum meninggalkan area kampus dan melangkah menuju tempat parkir sepeda motor sebelum ia benar-benar  rela meninggalkan kampus.
Inilah pemandangan yang tak asing bagi Syahida dan dunia perkampusan pastinya. Predikat budaya hidup bebas masih belum enggan lepas dari anak kampus (tentunya tak semua mahasiswa). Di area parkir tampak budaya mengikisnya rasa malu. Ya, berboncengan dengan lawan jenis yang mungkin bukan mahram, meski sadar mengenakan jilbab. Teriris membayangkan seandainya orang tua mereka tahu jika anak-anaknya yang sedang menuntut ilmu berperilaku demikian. Nastaghfirullah, wa na’udzubillaahi min syarri dzaalik.......
Syahida menghentikan langkahnya sejenak, kemudian membiarkan muda-mudi yang berboncengan itu mendahului langkahnya. “Yaa Rabb, jagalah hati dan akhlak dari “satu nama” yang telah Engkau tulis di Lauh Mahfudz, yang nantinya akan membersamai hamba dalam menjalani sisa usia hamba, di mana pun ia berada. Istiqomahkan kami dalam masa perbaikan diri, sabarkanlah hati kami dalam masa penantian ini. Lalu pertemukanlah kami pada waktu yang telah Engkau atur  sesuai rencanaMu. Dan amanahkan kepada kami kebahagiaan ketika Engkau menilai kami pun siap mengemban amanah suciMu, dalam bingkai zuhud dan manisnya iman, amien.....” do’a Syahida memupus kerinduannya yang dalam. Tak terasa bulir-bulir air nan jernih jatuh, setetes demi tetes membersamai langkah kaki Syahida meninggalkan kampusnya. Ya, kampus yang jarang ia sambangi, sejak menjadi mahasiswi hingga kini. 
Akhirnya sang mahasiswa Kupu-Kupu, benar-benar meninggalkan kampusnya. Meninggalkan kenangan masa lalunya, merelakan masa-masa indahnya sebagai mahasiswa......
*****


**Sahabat, ketika engkau akan mengumpulkan kata demi kata untuk merangkainya menjadi sebuah tulisan, engkau perlu berulang kali untuk berpikir, bagaimana memadukan kata demi kata, diksi, komposisi, kohesi dan koherensinya. Supaya engkau dapati kesempurnaan di dalamnya, pun setiap yang membaca akan tersentuh hatinya karena tulisanmu. Lalu berpikir kemudian berbuat kebaikan dari hasil goresan penamu. Maka menulislah, menulislah, dan menulislah supaya hatimu menjadi peka. Peka terhadap masalah sekecil apapun di sekitarmu.

Berkontemplasilah dalam diam lalu menulis dan menulislah, maka kau akan menjadi lebih mengerti, terlebih tentang dirimu sendiri.......**

Rabu, 22 Juni 2011

Hukum Hormat Bendera

Rabu, 11 Mei 2011



Lihat ke Bawah, Petiklah Hikmah....

Sering menghibur diri dengan kalimat demikian, “Rasa bosan, jenuh, boring dan macam-macam spesiesnya, adalah manusiawi.” Kalimat inilah yang mampu membuatku bertahan dalam pekik perjuangan ini. Perjuangan yang kuawali dengan azzam kesungguhan. Perjuangan kami tuk raih ridho Illahi Rabbi, Biidznillaahi Ta’aalaa...
          Rasa jenuh terkadang hinggap tanpa permisi. Apalagi ketika fluktuasi “ghirah” yang bercokol di hati sedang futur, Masyaallah........ Alaa Bi Dzikrillaahi Tathmainnul Quluub....
          Begitu juga dengan hari-hari yang aku lalui......... (kok jadi curhat yak..?). Berawal dari kejenuhan, kulangkahkan kaki menuju perseteruan hati. Setengah lantang kuberdendang, “Saatnya berpetualang...!!!!!!!!!!!!”
          Yappp..........!!!!!! Inilah saatnya berpetualang menyusuri sebagian putaran roda kehidupan yang tentunya penuh ujian iman. Ada rasa yang tertinggal, bahkan hilang. Hilang karena aku sadar, hampir dua tahun kota kelahiran kutinggalkan. Ya, kutinggalkan Solo demi sebuah obsesi. Ataukah ambisi? Entahlah, tapi biarkan aku menyebutnya dengan impian. Ya! Demi sebuah impian semasa kecilku.
          “Kalau kamu bisa mengerjakan, nanti kalian aku beri makanan sebagai hadiahnya!” Sekarang kerjakan saja sebaik-baiknya!” Kata Zulaikha kecil sembari berjalan-jalan mengitari kawan-kawan sepermainannya. Dipandangi dengan jeli pekerjaan teman-temannya satu persatu. Layaknya seorang guru, Zulaikha memastikan bahwa mereka benar-benar mengerjakan apa yang ia perintahkan di papan tulis kayu yang ia isi dengan soal. Ia tulis dengan kapur warna-warni, yang menurutnya mungkin bisa menarik hati. Zulaikha kecil ingin sekali menjadi guru.
          Sempat aku tertawa kecil mengingat masa kecilku. Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas dua Madrasah Ibtidaiyah. Masa di mana kurasakan indah berkawan. Masa di saat aku gila berpetualang. Menyusuri sungai dan sawah. Entah apa yang kucari atau kepuasan menemukan sesuatu yang belum pernah aku miliki sebelumnya. Masih dalam kondisi tertegun aku menulis postingan ini. Kuterawang jauh ke masa di mana aku miliki sahabat kecil.
          Aku pernah menjumpainya beberapa kali dalam mimpi. Ia tampak berseri-seri, namun aku sempat menangkap semburat bingung dari  wajahnya. Dia merasa lapar dan haus saat itu. Sambil memanggilku, ia meminta makanan padaku. Entah mengapa aku tak bisa memberinya. Mulut kecilku tak mampu mengucap sesuatu untuk menjawab uluran tangannya. Seperti ada yang menguncinya rapat. Sulit kubuka dengan tenaga. Lalu ia menghilang dengan senyumnya. Ia hilang menembus  pintu kamarku yang kala itu terkunci.
“Yaa Allah........!” pekikku disertai dengus kepanikan. Aku tersadar, dia meninggal beberapa minggu sebelum aku bertemu dalam mimpi. Sebab, sekian tahun lamanya aku tak lagi bisa lagi mengajaknya berpetualang bersama. Bernyanyi bersama, bergandengan tangan. Ya, kami sama-sama hobi menyanyi. Dia selalu memuji suaraku, ia selalu bilang suaraku merdu (bukan merusak dunia loh.......^___^). Bukan maksud untuk ‘ujub yak....? Nauzdubillah, tsumma Na’udzubilliah...
          Bapaknya seorang pengacara ternama. Ia anak satu-satunya. Desy sosok anak yang cerdas. Sembari jari ini menari bebas di atas keyboard komputerku, kuingat pula dua lesung menyatu dengan pipinya yang menggemaskan. Menyempurnakan kecantikannya. Kami sudah tak lagi berjumpa ketika Sekolah Menengah Pertama, yang ternyata menjadi sebongkah dinding pemisah kebersamaan kami. Aku melanjutkan sekolahku di Tsanawiyah, sedang ia melenggang ke SMP favorit di kotaku. Sambil membenahi kaca mataku, kembali kuingat cerita tragis tiga tahun yang lalu.
          Kira-kira di penghujung tahun 2007. Kala itu aku masih sibuk dengan kegeramanku yang membuncah karena skripsi tak kunjung di-acc pembimbingku, Profesor Markhamah. Satu setengah bulan kutarget skripsi kelar. Ternyata Allah berkehendak lain. Baru sekitar dua setengah bulan aku bisa menyelesaikan tugas akhirku sebagai mahasiswa. Kudengar kabar dari sahabat semasa Madrasah, Desy  meninggal dunia.
          Serasa jantung dihantam godam. Inikah berita yang seharusnya kudengar..........??? Sekian lama tiada jumpa.....??? Ia meninggal setelah sempat beberapa hari dirawat di Rumah Sakit. Ia mengalami kecelakaan tepat di sebelah barat pusat perbelanjaan di daerah kampusku.
          Istirja’ tiada henti, keluar dari mulutku yang kian kelu. Mahakuasa Allah atas segala sesuatu. Segala yang di langit dan di bumi. Yang berkuasa atas makhluknya, begitupun dengan urusan nyawa manusia. “Kullu nafsin   dzaaiqotul mauut......” Setiap yag bernyawa pasti mati. Pasti.
          Perjumpaanku dengannya dalam mimpi, semakin menyadarkanku akan singkatnya kehidupan di dunia ini. Betapa Allah Mahaadil. Betapa Allah sudah mengatur seberapa lama makhluknya akan menghuni dunia yang di dalamnya penuh dengan permainan dan senda gurau. Innaddunya la’iibu walahwu...
          Masa lalu banyak menyumbangkan ibrah bagiku. Masa lalu yang sering menjadikan cerminan untuk menentukan langkah mana yang sebaiknya kutempuh. Namun tak jarang pula masa lalu membuatku takut akan pilihanku sendiri. Takut tersungkur untuk kesekian kali.
          “Rasa bosan, jenuh, boring dan macam-macam spesiesnya, adalah manusiawi.” Aku masih sibuk menghibur hati. Aku masih berusaha menyenangkan batinku yang sedari tadi mendesak meronta meminta kebebasan. Aku ingin sesuatu yang baru.
          “Saatnya berpetualang mencari dan menemukan sesuatu yang baru...!!!!!” Teriak batin yang ingin segera pulang ke pelukan kota kelahiranku. Solo, The Spirit of Java, I’m come back..
          Keliling Solo, jalan kaki.......??? Tak terbayang sebelumnya. Inilah yang mestinya kurasa dan kunikmati. Banyak hal yang mesti kuraba dan kukecap dengan nurani, tanpa tirani. 
Petualanganku bermula dari salah satu Department Store besar di Solo, tepatnya dari Singosaren Plaza. Dengan PeDe-ku aku berjalan sendirian di antara lalu lalang dan hingar bingar degup jantung kota. Sampai di Night Markaet Solo, tak kulewatkan kans berharga ini. Ceprat-cepret sana-sini, yah......... mumpung ga bayar lah..... Seharian jadi fotografer amatiran......

Subhanallah, sepanjang jalan “Night Market” solo sangat asri...
Dengan kaki yang hampir letih, aku masih sibuk memotret solo
dan segenap hingar bingarnya..
Solo....The Spirit of Java.....

 Sepanjang Night Market Solo, jalan nampak lengang
Tapi, aku masih semangat melenggang. . .
Coba lihat bapak penjual jamu ini,
Semangatnya luar biasa... Mengapa
kita tak coba ambil ibrah dari pencari
ridho Allah yang satu ini. Mungkin di setiap
 seok langkah kaki, terlafaz Doa dan  mengagungkan asmanYa.
Fabiayyi aalaa-i robbikuma tukadzdzibaan...???????
hayya nasykur ilallah.......!!!!!!
 SOLO PARAGON 
Solo makin sesak dengan gedung menjulang..
Foto ini kuambil setelah aku berhenti sejenak dari perjalananku.


        Subhanallah, aku rasa perjalananku cukup membuatku kembali bersemangat menjalani hari-hari di asrama tempatku berjuang. Meski letih, aku yakin ini semua tiada sia-sia. Perjalanan berakhir di depan SMA 4 Surakarta. Angkutan kota berseri 08 siap mengantarku pada perjalanan berikutnya. 

         Tengaran, sambut aku penuh harapan, dalam bingkai zuhud dan manis iman...

         Lalu apa yang kau kufuri dari karunia Ilahi Rabbi....?

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More